Soal ”Childfree” dan Pernikahan, Menteri Wihaji: Pilihan Kebahagiaan Masyarakat Bergeser


Isu keuangan menjadi faktor nomor wahid di balik pilihan childfree ataupun menunda menikah. Menanggapi persoalan yang ditemukan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas tersebut, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Wihaji menilai, pilihan kebahagiaan masyarakat telah bergeser.

Berdasarkan pengolahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, proporsi perempuan melahirkan menurun dalam satu dekade. Pada 2012, angkanya 70,6 persen dari 66,5 juta perempuan usia 15-49 tahun. Proporsi itu menurun menjadi 66,4 persen dari 73,1 juta perempuan dalam rentang usia sama pada 2022. Angka-angka tersebut diperoleh dari pengolahan data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS).

Sementara itu, Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menganalisis, Minggu (3/11/2024), minat warga pada kata childfree sepanjang 2022 tidak pernah nol. Data Google Trends menunjukkan, nilai ketertarikan pencarian kata childfree pada awal 2022 sebesar 16 poin lalu memuncak pada angka tertinggi, yakni 100 poin, pada Oktober 2022. Pada akhir 2022, nilainya menjadi 33 poin.

Menanggapi data-data tersebut, Wihaji berpendapat, ada cara pandang yang menggeser kebahagiaan. ”Begini, keluarga punya anak atau istri, itu salah satu indikator indeks kebahagiaan. Namun, pilihan kebahagiaan tidak dipilih di situ. Ada pemikiran, ’saya ingin bahagia, tetapi saya memilih kebahagiaan yang lain’ atau ’saya menikah, tetapi saya tidak punya anak’ lalu mungkin memelihara hewan. Kebahagiaan mereka di situ dan (mereka menilai) risikonya kecil,” tuturnya saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (31/10/2024).

Selain pergeseran itu, dia menyebutkan dua faktor mengapa seseorang memilih childfree, khususnya di perkotaan. Pertama, persoalan pilihan berkarier. Sejumlah warga berkarier untuk bertahan hidup lalu memikirkan nasib orangtua yang menua dan tak lagi bekerja. Ada pula warga yang takut menikah karena khawatir diminta berhenti berkarier.  

Faktor kedua, lanjut Wihaji, adalah persoalan ekonomi. ”Ekonomi susah, beli popok susah. Itu adalah bagian dari pilihan. Harapan kita, dari keluarga berencana, mulai merencanakan reproduksi, memiliki keluarga, hingga keberadaan generasi berikutnya,” katanya.

Isu tersebut sejalan dengan hasil pengolahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas bersama Konsultan Komunikasi SGH dan Teleskop.id Data Analytic yang menunjukkan, persoalan keuangan akibat tingginya biaya hidup menempati posisi puncak alasan di balik pilihan childfree. Temuan ini bersumber dari 69 konten di X dan Instagram yang menyebut childfree beserta alasan sepanjang 16-21 September 2024.   

Bersama istri, Vlaad (32), pekerja yang tinggal di Jakarta, memutuskan untuk childfree. Mereka memilih tidak memiliki buah hati karena merasa tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi hingga pendidikan sang anak kelak.

Mariage is Scary

Kompas juga menyoroti pandangan menikah itu menakutkan. Data Google Trends menunjukkan, nilai ketertarikan pencarian marriage is scary sepanjang 3 Agustus hingga 3 November 2024 menyentuh angka tertinggi, yakni 100 poin pada Agustus 2024. Per Minggu (3/11/2024), nilainya menjadi 15 poin.

Di sisi lain, Kompas juga menemukan proporsi penduduk lajang meningkat berdasarkan pengolahan data mikro Susenas BPS. Proporsi warga usia 15-49 tahun berstatus belum menikah sebesar 30,1 persen dari 133,7 juta orang di umur yang sama pada 2012. Angka itu meningkat 35,5 persen dari 148,3 juta jiwa pada 2022 dalam kelompok umur yang sama.

Menanggapi data-data itu, Wihaji mengatakan, pemerintah akan memberikan contoh yang menunjukkan menikah itu menyenangkan dan perlu perencanaan. ”Mungkin ada yang berpendapat menikah itu banyak pertimbangan, salah satunya kebebasan. Lagi-lagi ini soal pilihan kebahagiaan yang bergeser. Memang kebahagiaan itu berdasarkan pengalaman dirinya,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Sama seperti fenomena childfree, isu keuangan yang belum mapan juga menempati ranking satu alasan warganet menunda menikah. Temuan itu bersumber dari 158 konten di Instagram dan X yang menyebut kata ‘tunda menikah’ beserta alasannya.

Bagi Obi (45), fotografer lepas di Jakarta, kemapanan menjadi fondasi untuk menikah. Pria lajang itu khawatir tidak bisa menghidupi istri dan anaknya kelak karena keuangan saat ini sebagai pekerja lepas tergolong pasang-surut.

Masalah Kependudukan

Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menggarisbawahi, fenomena childfree dan keengganan menikah terjadi di tengah penurunan tingkat kelahiran total (total fertility rate/TFR) dari 2,51 pada 2012 menjadi 2,13 pada 2022 berdasarkan data BPS. Artinya, seorang ibu rata-rata melahirkan 2-3 anak. BPS juga memproyeksikan, angka TFR dapat menyentuh 1,95 pada 2045 atau seorang ibu rata-rata melahirkan 1-2 anak.

Wihaji menyatakan, TFR berada di bawah angka 2 merupakan potensi masalah kependudukan dan negara harus hadir. Dia berharap kementerian yang dipimpinnya dapat menjaga keseimbangan dan mengendalikan penduduk.

Dia menambahkan, kultur saat ini meyakini kehadiran anak sebagai aset. ”Saya sebagai menteri mengajak, ayo bangun keluarga berencana. Kalau ada yang bilang, ’Bapak tidak mengerti susahnya’, insya Allah pasti ada jalan keluar,” ujarnya.

Sumber : Kompas.id

Source : Kemendukbangga

Posting Komentar

0 Komentar